Proses untuk
belajar kebudayaan sendiri ada tiga macam. Pertama proses internalisasi,
manusia mempunyai bakat yang telah terkandung dalam gennya untuk mengembangkan
berbagai macam perasaan, hasrat, napsu, dan emosi dalam kepribadian individunya
sepanjang hidupnya, tetapi wujud dan pengaktifan dari berbagai macam isi
kepribadiannya itu sangat dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang berada
dalam sekitar alam dan lingkungan sosial maupun budayanya (Koentjoroningrat,
2009 : 185). Yang kedua yaitu proses sosialisasi, dalam proses ini seorang
individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan
dalam interaksi dengan segala macam indivudu sekelilingnya yang menduduki
beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari
(Koentjoroningrat, 2009 : 186). Dan yang ketiga adalah proses enkulturasi,
proses ini sudah dimulai sejak kecil dalam alam pikiran warga suatu masyarakat,
mula-mula dari orang-orang di dalam lingkungan keluarganya, kemudian
teman-teman bermain. Seringkali menirukan berbagai macam tindakan, perasaan dan
nilai budaya akan member motivasi akan tindakan tersebut dan diinternalisasikan
ke dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi
suatu pola yang mantap, dan norma yang mengatur tindakannya “dibudayakan”
(Koentjoroningrat, 2009 : 189).
Ada tiga wujud
kebudayaan yag penting untuk kita ketahui. Wujud yang pertama adalah wujud
ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Wujud
tersebut berada di dalam alam pikiran masyarakat. Wujud yang kedua dari
kebudayaan disebut sistem sosial atau social
system mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial
ini terdiri dari aktivitas manusia dalam berinteraksi atau bergaul. Wujud yang
ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat.sifatnya
paling konkret berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto
(Koentjaraniingrat, 2009: 151).
Salah satu
contoh kebudayaan yang akan dibahas adalah kebudayaan yang terdapat di
Pamekasan. Pamekasan merupakan salah satu kota ternama yang ada di Madura. Pamekasan
saat ini sedang merajut masa depan yang meluas. Mulai dari kabupaten dengan
predikat kota pendidikan Madura, kota budaya, kota gerbang salam, hingga
Pamekasan sebagai kota batik (Dinas P & K Kab. Pamekasan, 2006: 12 ). Di
Madura sendiri tentunya banyak terdapat kebudayaan termasuk di Pamekasan. Di kabupaten
Pamekasan ini ada beberapa kebudayaan. Di Pamekasan alat seperti keris masih
menjadi sebuah benda yang sakral. Para kaum tua banyak yang mempunyai keris
yang mereka simpan selama bertahun-tahun. Keris ini dipercaya mempunyai
kekuatan dan mereka merawat keris tersebut. Ada pula yang menganggap keris
tersebut merupakan wujud dari nenek moyang atau sesepuh mereka.
Selain keris,
ada pula sebuah tradisi di Pamekasan yang diperingati setiap satu tahun sekali.
Tentunya nama Kerapan Sapi tidak asing lagi di telinga kita. Kerapan Sapi
merupakan sebuah tradisi yang dipatenkan sebagai tradisi orang Madura. Kerapan
Sapi ini merupakan balapan yang terdiri dari dua ekor sapi dan satu joki.
Kerapan sapi ini biasanya setiap bulan bahkan setiap minggu dilaksanankan. Akan
tetapi ajang bergengsi dari Kerapan Sapi ini biasanya diperingati setiap satu
tahun sekali. Ajang ini disebut ajang bergengsi karena memperebutkan Piala
Presiden. Ajang bergengsi ini biasanya diselenggarakan di Stadion Hadiwidjojo
yang berada di daerah Lawangan Daya. Mayoritas penonoton Kerapan sapi ini
adalah laki-laki. Biasanya kerapan sapi ini dimulai dari pagi sampai sore hari.
Tradisi yang
lain selain Kerapan Sapi adalah Sapeh
Sonok. Sapeh sono’ ini biasanya dilaksanankan setiap tahunnya di Karesidenan
tepat sebelah Utara jantung hati Pamekasan. Berbeda dengan Kerapan Sapi, Sapeh
Sonok ini dalam dandanannya lebih heboh dari Kerapan Sapi. Disini sapi
didandani dengan berbagai macam atribut agar sapi tersebut terlihat cantik. Dan
selanjutnya akan dilakukan penilaian kepada sapi-sapi tersebut. Setelah acara
Sapeh Sonok ini pada malam harinya akan diadakan acara yang dianggap sakral
yang dinamakan “Semalam di Madura” yang dilaksanakan di jantung hati Pamekasan
atau yang lebih dikenal dengan Arek Lancor. Acara ini memperkenalkan
kesenian-kesenian yang ada di Madura khususnya Pamekasan. Misalnya saja seni
tari, seni musik dan seni suara. Banyak orang yang ingin menonton acara ini.
Akan tetapi hanya para tamu undangan yang boleh masuk. Yang tidak memiliki
undangan hanya dapat melihat dari luar.
Ada pula tradisi
menjemput sanak saudara yang naik haji. Biasanya para sanak keluarga bahkan
tetangga beramai-ramai diajak untuk menjemput iring-iringan haji. Menjelang
subuh biasanya mereka sudah memadati sepanjang jalan yang akan dilewati oleh
rombongan haji tersebut. Macet pun tidak dapat dihindari. Anak-anak yng berniat
ke sekolah biasanya akan datang terlambat datang ke sekolah karena terjebak
macet, bahkan tidak jarang mereka akan memilih berjalan kaki ke sekolah.
Sepanas apapun cuaca pada hari itu orang-orang yang sudah menunggu terlihat
sangat antusias menunggu kedatangan haji tersebut. Apabila rombongan haji
tersebut sudah tiba para sanak saudara yang sudah menunggu akan
berbondong-bondong masuk ke mobil dan mengikuti rombongan haji tersebut.
Biasanya rombongan haji tersebut akan dikawal dengan puluhan sepeda motor yang
akan berkonfoi. Dan ajang menjemput haji ini bisa terbilang cukup unik karena
apabila sudah terdengar bunyi sepeda motor yang berkonfoi tadi orang-orang akan
keluar rumah dan menonton rombongan haji yang lewat. Para haji pun akan
melambaikan tangan dari dalam mobil.
Ada pula tradisi
roka tasek atau petik laut. Tradisi ini bertujuan untuk keselamatan para
nelayan. Dalam tradisi ini biasanya warga melarung sesajen yang berisi hasil
bumi dan kepala kambing ke tengah laut. Semua warga, baik yang tua maupun yang
muda biasanya larut dalam suasana upacara tersebut. Sesaji berupa kepala
kambing, buah-buahan, nasi kuning dan air kembang yang dikumpulkan agar
mendapat barokah dimasukkan ke replica perahu. Sebelum upacara petik laut
dimulai, warga menggelar tahlil, doa bersama, dan sholat dzuhur berjamaah,
setelah itu warga akan mengarak sesaji. Dengan diiringi musik tradisional
ulda-ul khas Madura, sesaji diarak keliling kampong menuju pantai. Sesaji yang
akan dilarung ke tengah laut dinaikkan ke atas perahu. Setelah sampai di tengah
laut sesaji akan dilepas dan warga berebut memperoleh sesaji yang diyakini
mendatangkan berkah dan rejeki (Tim liputan IJS, diakses 23 Maret 2013).
Itulah beberapa
contoh tradisi yang ada di Pamekasan. Kebudayaan akan terus bertahan tergantung
dengan kelompok masyarakat yang menjalankannya. Namun kebudayaan setiap
jamannya akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan yang ada namun tidak
menghilangkan sifat asli dari kebudayaan tersebut. Perubahan kebudayaan dapat
berjalan lamban, memakan waktu lama, atau dapat memakan waktu yang relatif
singkat. Proses-proses yang terlibat dalam perubahan kebudayaan itu adalah
penemuan baru, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi (Haviland,
1985: 253). Saat ini banyak kaum muda yang tidak melestarikan kebudayaannya
karena dianggap sudah tidak jaman atau jadul. Selain itu banyak yang pindah ke
daerah lain dan mereka juga mendapat kebudayaan baru di daerah mereka yang
baru. Hal itu juga menyebabkan kebudayaan mereka di daerah asal akhirnya akan
hilang juga digantikan dengan kebudayaan baru yang saat ini mereka tinggali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar